 Terkadang kita merasa terlalu berat melewati panjangnya hari, mengisinya dengan segala yang bisa kita lakukan untuk buktikan cinta, dan karenanya kita lantas berpikir untuk segera menyudahinya lewat jalan pintas, sementara – konon – cinta itu menjadi indah jika perjalananannya kita maknai dengan tulus, sejauh apapun jaraknya. Acapkali pula kita bertanya-tanya apakah waktu telah begitu kejamnya sehingga tidak lagi menyisakan ruang bagi ekspresi jiwa, dan karena itu kita harus menaklukkannya lewat sebait ikrar kesetiaan di depan para saksi pada sebuah hari yang dinantikan? Dalam kegamangan ini, kucoba merangkai segenap bongkah pengharapan tuk jadikanmu yang terindah sekaligus yang terakhir dalam sejarah petualangan kelaki-lakianku. Meyakinkan diri sendiri memang tidak mudah, tetapi dengan menempatkanmu dalam buritan utama hati mungkin akan banyak membantu, sedikitnya untuk setiap saat mengingatkanku akan komitmen “ke-kita-an” yang kemarin kita agungkan. Pun, di sini, dalam relung di mana bayangmu kian menghiasinya, kunyatakan kecintaanku yang sesungguhnya, dan –semoga bumi mengamininya– kelak “meminangmu” menjadi ibu bagi calon anak-anak kita, mendidiknya hingga dewasa dan menunjukkan pada mereka pilihan-pilihan hidup. Hanya denganmu, kejujuranku terkuak tulus tanpa tendensi, di sini, dalam relung jiwa yang telah mulai engkau hidupi. Terima kasih cinta.
Asta Qauliyah, 07 Desember 2005,01.40 wita, IB-205 TamalanreaLabels: Asri Tadda Qauliyah |